Senin, 15 Juni 2015

Nestapa Pemilik Rumah Kos

Sketsanews.com – Adalah Sinyo, seorang wiraswasta sukses dari Ceper, Klaten. Selain menekuni usaha toko kelontong, ia juga punya beberapa rumah kos yang dihuni/disewa oleh para pekerja dari luar daerah, termasuk salah seorang sahabatnya sewaktu masih sekolah dulu – namanya Ananta.

Sebagaimana sudah diketahui, kecamatan Ceper terletak sekitar 10 km arah utara Klaten, sepanjang jalan raya Klaten – Solo. Kecamatan Ceper terdiri dari 18 Kelurahan/Desa. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Ngawen dan Kecamatan Karanganom. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Trucuk dan Kecamatan Klaten Utara. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pedan. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Delanggu.
Pendapatan mayoritas penduduk setempat berasal dari pertanian. Industri di Ceper termasuk kerajinan besi cor di Desa Batur Jaya, mainan anak dari kayu di Desa Jombor, dan industri mebel yang tersebar di banyak desa. Ada pula kerajinan karet dari ban bekas yang terdapat di Desa Karang Wuni.
Dahulu Kecamatan Ceper memiliki pabrik gula yang disebut PG. Ceper Baru, dan Infitex (Induk Finishing Tekstil). Sekarang pabrik gula sudah tutup dan dialih fungsikan sebagai museum.
Beberapa waktu yang lalu, saya mengunjungi Bapak Sinyo, kebetulan saat itu beliau berada di salah satu rumah kontrakannya. Kami berdua dipersilahkan duduk, selang beberapa saat pak Sinyo masuk ke dalam, sebentar kemudian keluar sambil membawa minuman dan sepiring kue. “Ayo mas dinikmati, mumpung masih hangat”, kata Sinyo. Saya pun segera menyantap hidangan yang telah disuguhkan, sambil sesekali melontarkan pertanyaan kepada beliau.
Sinyo mengawali ceritanya, “Rumah ini penuh dengan kenangan dan mungkin tak akan pernah bisa dilupakan. Sekitar 14 tahun yang lalu, rumah ini ditempati oleh temannya, Ananta -teman Sinyo sewaktu masih SMA- beserta anak dan istrinya. Rumah Ananta baru saja digusur karena proyek pelebaran jalan, merasa kasihan Sinyo pun menawari Ananta untuk tinggal di rumah kos nya.
Hari pertama dan kedua Ananta tinggal di rumah ini, tidak ada masalah. Hari ketiga, masalah itu muncul. Saat itu akhir bulan Ramadhan tahun 2002, sekitar jam 03.00 dinihari, ada yang mengetuk pintu. Saya pikir itu adalah tetangga yang hendak membangunkan kami untuk melaksanakan sahur, tak tahunya mereka adalah rombongan pihak yang berwajib. Dengan setengah memaksa, mereka mencoba masuk ke dalam rumah, katanya mencari seseorang buronan bernama Ananta. Sambil menghalangi dengan tangan, Sinyo mengatakan, “Ananta itu orang baik-baik, saya amat mengenalnya, tidak mungkin dia berbuat jahat, apalagi jadi buron polisi”. Sia-sia tangan Sinyo menghalangi, mereka tetap memaksa masuk dan akhirnya menemukan Ananta di kamarnya. Ananta dibawa masuk ke dalam mobil dengan tangan dipegangi oleh mereka, Sinyo pun ikut dibawa, katanya sebagai saksi.
Sebelumnya, sekitar jam 23.00 sempat terdengar kabar kalau Romy (kata polisi, dia adalah penadah motor gelap) sudah ditangkap, Ananta pun tidak merasa khawatir kalau dikaitkan, toh seminggu yang lalu ia membeli motor dari Romy secara sah, surat-surat komplit, semuanya legal. Diluar dugaan, Romy yang sudah ditangkap ternyata dikeler untuk menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam jual beli kendaraan itu. Ia dipaksa menyebutkankan siapa saja, dan disuruh menunjukan tempat tinggalnya. Akhirnya tepat jam 03.00 pagi, Ananta dijemput paksa di rumah Sinyo, termasuk bapak pemilik warung kelontong itu.
Pagi itu juga mereka berdua dibawa ke Polsek Ceper untuk dimintai keterangan. Setelah itu mereka dibawa ke Solo dengan mata tertutup (seperti tahanan kelas kakap saja, pikirku). Kemudian dimasukkan kedalam sebuah rumah, tapi entah di daerah mana mereka tidak tahu. Di ruangan itu ternyata ada 3 orang yang sudah ditangkap terlebih dahulu, diantaranya Romy, Tino dan Sebastian. Menurut mereka bertiga, rumah ini dulunya adalah Dealer Motor, berlokasi di sekitar Solo. Kami berlima dikarantin selama seminggu di rumah tersebut, dan sepertinya rumah tersebut tempat yang aman untuk menyembunyikan mereka. Buktinya tak ada seorangpun yang masuk ke dalam, padahal terdengar jelas kalau diluar itu sangat ramai, seperti dekat pasar atau stasiun atau terminal.
Di ruangan itu kami diinterogasi satu persatu, termasuk Sinyo. Ditanya macam-macam, diantaranya, Apakah anda mengenal tiga orang ini (yang sudah ditangkap terlebih dahulu, Romy, Tino dan Sebastian)? Saya jawab, “Tidak kenal, saya cuma kenal dengan Ananta”. “Kenapa mau menerima Ananta dan keluarganya untuk tinggal di rumah kos mu?”. Saya jawab, “kenapa tidak, Ananta itu teman saya waktu masih sekolah dulu dan dia sedang butuh pertolongan, rumahnya baru saja digusur”.
Dari proses interogasi itu, sayalah orang terakhir yang ada hubungannya dengan Ananta, sehingga tidak ada pertanyaan tentang kawan-kawan Ananta yang lain, yang masih bebas di luar sana.

Sinyo sempat kenalan dengan salah seorang petugas, namanya Marso. Dia orangnya cenderung pendiam dan tertutup, minta nomer teleponnya saja tidak diberi. Pikirnya waktu itu, seandainya sewaktu-waktu punya masalah di jalan raya, dirinya bisa telepon untuk minta bantuannya. “Ya sudahlah, nggak dapat nomernya juga nggak apa-apa, toh aku masih ingat wajahnya, jadi misalnya ketemu di jalan, aku bisa menyapanya”, celetuknya.
Genap seminggu di rumah karantina tersebut, mereka dipindah ke Lapas Polda Bali. (red: mungkin curanmor kelas kakap). Disana mereka dapat fasilitas lagi, berupa “voucher menginap gratis” selama 4 tahun dipotong masa tahanan. Padahal hanya kenal saja, Sinyo juga dijadikan tersangka dari curanmor yang telah dilakukan orang lain. Pria gemuk itu menjalani hari demi hari dengan sabar, “ini sudah suratan takdir, tak ada orang lain yang perlu disalahkan”, ujarnya. “Alhamdulillah, ada hikmah lain yang dapat diambil, disana saya dapat menghafalkan Al Qur’an sebanyak 10 juz, ibadah saya juga semakin baik”, ungkap Sinyo.
Setelah “voucher menginap gratis” habis masanya, Sinyo pun dipulangkan. Lega rasanya bisa bertemu lagi dengan keluarga, bertemu dengan kedua orangtua dan bertemu dengan sanak saudara. Aktivitas yang dahulu yaitu menjaga toko kelontong dan mengelola rumah kontrakan Sinyo jalani lagi, disamping menimba ilmu dari para Kyai di kampung.
Dua pelajaran yang Sinyo ambil dari peristiwa yang menimpanya adalah “Berhati-hatilah dalam melakukan sesuatu, dan dengarkan saran dari orang lain yang baik akhlaqnya”.


Penulis : Agung Sandiyudha

tautan : http://sketsanews.com/nestapa-pemilik-rumah-kos/