Sketsanews.com – Malaysia Airline adalah sebuah flag carrier
kebanggaan dari negara Malaysia yang cukup dikenal di dunia penerbangan
internasional dalam dua dekade. Tetapi kini para pegawai MAS sedang
dilanda gundah, karena berkembangnya informasi akan dilakukannya
restrukturisasi. Menurut CNN Money, Rabu (27/5/2015), sekitar 6.000
pegawai diantara 20.000 orang akan di PHK, meskipun laporan terakhir
menyarankan angka itu bisa lebih dekat dengan 8.000.
Pengurangan pegawai saat ini dinilai merupakan salah satu upaya
restrukturisasi Malaysia Airline menjadi perusahaan yang lebih
ramping. Sementara restrukturisasi berjalan, Chief Executive Officer
Malaysia Airlines, Christoph Mueller, menyatakan, bahwa maskapai ini
akan tetap beroperasi seperti biasa. “Semua penerbangan MAS, jadwal, dan
pemesanan beroperasi secara normal,” kata Mueller.
Kepastian restrukturisasi dilaksanakan, setelah induk MAS yaitu
Khazanah Nasional Bhd menunjuk Chairman Pricewaterhouse Coopers Datuk
Mohammad Faiz Azmi sebagai administrator restrukturisasi MAS, dan
mentransformasikannya menjadi perusahaan baru MAS Bhd. Diperkirakan
restrukturisasi MAS sebesar US $1,8 milyar akan selesai pada tanggal 1
September 2015.
Kasus kesulitan keuangan MAS sebetulnya dialamnya sejak Tahun 2008,
dimana MAS telah bergantung pada bantuan finansial dari pemerintah.
Perusahaan ini sudah tidak mencatat untung sejak tahun 2011 hingga 2014
akumulatif kerugian mencapai US$1,3 miliar. Di akhir tahun 2014, menurut
the Star, MAS ditarik dari bursa Malaysia.
Reformasi kunci selain pengurangan tenaga kerja , diantaranya juga
memotong rute yang tidak menguntungkan dan menempatkan manajemen senior
baru. Dalam beberapa bulan terakhir, Malaysia Airlines bahkan secara
bertahap menjual berbagai aset sebagai bagian dari reorganisasi,
termasuk sahamnya di perusahaan wisata Abacus.
Maskapai ini telah mengalami penurunan harga sahamnya sebesar 35
persen pada semester pertama tahun 2014 setelah hilangnya Malaysia
Airlines Flight 370 bulan Maret 2014 di atas Samudera Hindia dan
kecelakaan tragis MH17 pada Juli 2014 di Ukraina timur yang menewaskan
298 orang dengan total korban tewas menjadi 537 orang. Dua kasus
tersebut merupakan pukulan mematikan bagi Malaysia Airlines.
Malaysia kini mengangkat Christoph Mueller (52), sebagai CEO Baru
Dari Malaysia Airlines, seorang Jerman yang sukses mengangkat Irlandia
Aer Langus untuk membenahi dan mengembalikan kejayaan flag carrier
tersebut. Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menyebut Mueller sebagai
bagian dari upaya oleh pemerintah dan Khazanah untuk meletakkan fondasi
yang kuat untuk keberhasilan masa depan perusahaan penerbangan nasional
kita.
Apakah dengan dengan penunjukan CEO baru serta restrukturisasi
perusahaan yang dilakukan akan mampu mengangkat citra MAS? Disatu sisi
misalnya John Strickland, konsultan penerbangan independen yang berbasis
di London, mengatakan bahwa Mueller dapat menangani turbulensi, ia
katanya memiliki sejarah dalam mengatasi tantangan yang berat. Sementara
beberapa analis keuangan di Malaysia menyatakan bahwa dana yang akan
dikeluarkan hanya akan cukup bertahan selama setahun dan selanjutnya
tidak kuat.
Dalam kasus keruntuhan perusahaan penerbangan Malaysia Airline ini,
menurut penulis, walaupun sehebat apapun Mueller sebagai CEO, persoalan
citra walaupun mungkin akan terangkat, ada sebuah kerawanan yang harus
difahami olehnya. Sebuah pertanyaan intelijen, apakah kehancuran citra
MAS yang disebabkan oleh dua kasus MH370 dan MH17 sudah selesai? Menurut
penulis dua kasus tersebut merupakan serangan clandestine, yang apabila
dicermati bisa disimpulkan sebagai bagian dari sebuah proxy war.
“Proxy war adalah sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan
menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara
langsung dengan alasan untuk mengurangi resiko konflik yang beresiko
pada kehancuran fatal” (Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Kasad, Peran
Pemuda Dalam Menghadapi Proxy War).
Biasanya, pihak ketiga yang bertindak sebagai pemai pengganti adalah
negara kecil, namun kadang juga bisa non state actors, berupa LSM,
Ormas, kelompok masyarakat atau perorangan. Dapat juga ditambahkan
pelakunya jaringan teroris atau mungkin lone wolf. Disinilah penulis
menilai, Malaysia tanpa disadari diserang secara clandestine dalam proxy
war.
Singkatnya dikatakan, proxy war yang menyerang Malaysia adalah
kepanjangan tangan suatu negara yang berupaya mendapatkan kepentingan
strategisnya, namun menghindari keterlibatan langsung suatu perang yang
mahal dan berdarah. Sulit untuk mengenali siapa kawan dan lawan, karena
pengendali proxy war dilakukan dari jauh. Dalam hal ini, musuh atau
lawan Malaysia akan membiayai semua kebutuhan para non state actors,
untuk melemahkan Malaysia, memecah belah serta terus menekannya.
Itulah dasar pemikiran penulis, bahwa proxy war terhadap Malaysia
diperkirakan belum akan selesai. Mereka masih mencari celah untuk
melakukan serangan lanjutan. Kelemahan MAS sejak 2008 kemudian
dieksploitasi dalam dua serangan pada Maret dan Juli 2014 yang
menimbulkan korban 537 jiwa warga negara banyak negara.
Dua kasus pada MH370 serta MH17 adalah kasus yang hingga kini
diliputi masalah ketidak jelasan, pertanyaan intelijen “why” tidak juga
terjawab. Dalam hal ini manusia tidak suka dengan sesuatu yang tidak
jelas, rasa khawatir pengaruh psikologis calon penumpang pesawat akan
berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup perusahaan penerbangan.
Tanpa penumpang, lantas MAS mau jadi apa? Kan demikian kesimpulannya.
Nah, oleh karena itu, aspek terpenting dalam kasus Malaysia Airlines
adalah memahami apa sebenarnya tujuan serangan, dan apakah akan ada
serangan clandestine lanjutan? Dalam ilmu intelijen pengondisian
(conditioning operation), tidak dibenarkan dilakukan terus menerus. Akan
tetapi dalam penilaian kasus tertentu, pukulan terakhir harus dilakukan
dengan cermat, agar target mengalami kelumpuhan permanen.
Jadi kesimpulannya, Mueller akan dibiarkan membenahi MAS, dan ada
waktu hingga 1 September 2015. Dalam periode waktu tersebut, lawan
Malaysia hanya membutuhkan satu pukulan akhir, maka selesailah MAS. Yang
perlu dijawab oleh pihak intelijen Malaysia, siapa lawan atau siapa
nonstate actors tersebut. Kasus sensitif yang dihadapi Malaysia menurut
penulis adalah bagaimana memosisikan diri dalam kemelut Laut China
Selatan. Disitulah sebaiknya intelijen strategis mengawali penyelidikan
dengan menilai sembilan komponen intelstrat. Barangkali begitu.
Sebuah catatan bagi para pengemban amanah di Indonesia, kasus MAS
adalah sebuah pelajaran bahwa keputusan pimpinan sebuah negara sebaiknya
memperhitungkan kemungkinan efek samping yang bisa mengancam sisi lain
dari negara tersebut. Indonesia harus hati-hati dalam menyikapi
perkembangan situasi di kawasan Laut China Selatan. Jangan terlalu
pongah, wilayah tersebut akan menjadi wilayah pertarungan hidup dan mati
negara-negara raksasa, dan bukan tidak mungkin akan menjadi penyebab
Perang Dunia.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis intelijen Sumber : www.ramalanintelijen.net
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ