Sketsanews.com – Konflik di Suriah telah membuka imajinasi para
ektrimis Indonesia. Untuk pertama kalinya, warga Indonesia pergi ke luar
negeri untuk berperang, bukan hanya untuk berlatih sebagaimana ketika
di Afghanisatan pada tahun 1980 dan 1990, atau untuk memberikan dukungan
moral dan financial, sebagaimana masalah Palestina. Jumlahnya masih
terbatas kira-kira 50 pada bulan Desember 2013 tetapi mereka masih bisa
bertambah, begitulah perkiraan menteri luar negeri Indonesia.
Mengapa konflik Suriah menjadi perhatian seluruh masyarakat muslim
sedunia, termasuk orang muslim Indonesia yang datang ke Suriah. Bahkan
peristiwa yang terakhir dikejutkan oleh hilangnya 16 WNI yang akhirnya
mereka dideportasi oleh pemerintah Turki. Dalam kajian berikut ini
disebutkan beberapa factor, mengapa warga Indonesia berbondong-bondong
pergi ke Suriah.
Menurut Sidney Jones di dalam lembaga kajian yang dipimpinnya yaitu
IPAC (Institute for Policy Analysis of Conflict) menyebut, diantaranya
pertama, antusias kepada Suriah karena secara langsung dihubungkan
dengan prediksi-prediksi doktrin perang akhir zaman yang merupakan
perang terakhir di dunia ini yang akan terjadi di wilayah Syam, wilayah
itu kadang-kadang disebut Suriah yang agung atau Levant, yang mencakup
Suriah, Jordania, Lebanon Palestina dan Israel.
Factor kedua, karena buku best seller. Buku strategi dua lengan yang
ditulis oleh Abu Mus’ab As Suri dan sudah diterjemahkan dari Bahasa Arab
ke Indonesia, banyak ekstrimis percaya bahwa kekacauan dan penderitaan
yang disebabkan oleh Arab Spring bisa menjadi sebuah sarana untuk
mengembalikan khilafah Islamiyah.
Factor berikutnya adalah kekejaman yang dilakukan oleh pasukan
pemerintah melawan kaum muslim sunni telah menjadi sandiwara yang luas
di media local, termasuk website-website kaum radikal yang sedang
melakukan sebuah kampanye anti syiah yang dipelopori oleh presiden
Suriah Bashar al Assad sebelum konflik terjadi. Faktor yang keempat
bahwa Suriah lebih mudah dicapai oleh orang-orang Indonesia, khususnya
melalui Turki, dibanding konflik besar lainnya yang mendukung jihad
global.
Kemudian yang terakhir sejak khilafah dideklarasikan pada bulan Juni
2014, dan memang sudah menguasai wilayah, banyak orang yang penasaran
untuk menjadi warga dari negara yang menerapkan hukum Islam. Mereka
ingin menjadi bagian dari pemerintah Islam global ini, demikian seperti
yang diungkap oleh Sydney Jones. (Indonesian and Syria Conflict, IPAC
report no 16)
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menilai, keterlibatan WNI
dalam kelompok radikal ISIS itu merupakan peristiwa serius. Apalagi
seluruh negara menyatakan ISIS sebagai kelompok berbahaya, mengancam
peradaban dan stabilitas negara. “Jelas, terlibatnya WNI dalam kelompok
berbahaya itu bukan faktor kemiskinan. Murni sebagai masalah ideologis,”
ujar Khofifah Indar Parawansa usai menghadiri Seminar Nasional Pekerja
Sosial, Jakarta, Selasa (17/3).
Menurutnya, persoalan kesamaan ideologis itulah yang lebih
mempermudah individu bergabung dalam kelompok ISIS. Terlebih kondisi
ekonomi, sosial dan politik di Indonesia lebih baik dari negara Suriah
dan Irak, ( www.jpnn.com, Rabu, 18 Maret 2015)
Ditambahkan oleh Fadli Zon, bahwa selain karena faktor ekonomi di
Indonesia yang carut marut, tawaran surga juga dinilai menjadi daya
tarik Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bergabung ke Negara Islam Irak
dan Suriah (ISIS). Dengan adanya tawaran manis tersebut sangat
dimungkinkan WNI bergabung dengan militan radikal itu “Kalau semakin
banyak tekanan ekonomi, lalu tawaran lebih baik di luar secara materil
dan iming-iming surga. Ya, seperti itu akan ada orang merasa tertarik
bergabung dengan kekuatan itu,” ujar Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon di
Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (19/3).
Sementara itu, juru bicara dan Direktur III/Deradikalisasi BNPT,
Prof. Dr. Irfan Idris, MA menambahkan, sebagian warga Indonesia tertarik
bergabung dengan ISIS karena diiming-imingi kemapanan ekonomi dan mati
syahid. Apalagi ISIS terkenal sebagai organisasi terkaya. Kemudian
mereka yang tertarik memboyong seluruh keluarganya, termasuk anak kecil.
(www.tempo.co, “BNPT Antisipasi Warga Indonesia ke Suriah”. Sabtu, 14
Maret 2015)
Kemudian muncul pertanyaan mengapa ISIS bisa tumbuh subur di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Menurut pengamat isu terorisme dari Yayasan
Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail mengatakan, suburnya dukungan
terhadap gerakan Islamic State of Iraq and Al-Sham (ISIS) atau gerakan
negara Islam lainnya disebabkan oleh masih kuatnya sentimen pendirian
negara Islam di kalangan muslim.
Sentimen itu muncul, karena sebagian kalangan muslim merasa
termajinalkan dalam proses modernisasi selama ini, terutama setelah
dihapusnya sistem khilafah di Turki oleh pendiri Republik Turki, Mustafa
Kemal Attaturk, pada 1924. “Merasa termajinalkan, baik secara politik
maupun ekonomi,” kata alumni PP Ngruki itu kepada Tempo, Senin, 18
Agustus 2014. “Mereka merasa kembalinya sistem negara Islam seperti
khilafah akan memberi harapan lebih baik”.( www.tempo.co, “Ini Penyebab
ISIS Subur di Indonesia”. Senin, 18 Agustus 2014)
Mantan Sekretaris Militer Presiden Megawati dan SBY, Mayjen
Purnawirawan Tubagus Hasanuddin, juga tidak tinggal diam terhadap adanya
isu tersebut, dirinya menilai maraknya gerakan ISIS di Indonesia akibat
kelemahan dari aparat intelejen. “Kemunculan ISIS akibat aparat
intelejen ‘teu digawe’ atau tidak bekerja dengan baik,” ujar Hasanuddin,
yang kini Ketua DPD PDI Perjuangan Jabar, di kantornya di Bandung,
Selasa (12/3/2015).
Konflik Suriah telah memberikan sebuah dampak di Indonesia yang
diyakini oleh ekstrimis sebagai jihad lokal. Seharusnya hal itu dapat
disisihkan untuk memberikan semua energinya ke situasi yang lebih
penting yaitu jihad global.
Orang Indonesia dari aliran yang berbeda mencoba pergi ke Suriah.
Yang paling penting adalah Jemaah Islamiyah (JI), organisasi regional
yang kuat, serta bertanggung jawab atas peristiwa pengeboman Bali tahun
2002. Bahwa setelah tahun 2007 melepaskan diri dari kekerasan di
Indonesia dan dituduh oleh militant lainnya telah sengaja meninggalkan
jihad. Dari akhir tahun 2012 sampai Januari 2014, sayap kemanusiaan JI,
Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI), mengirim 10 orang utusan ke
Suriah, sambil membawa uang dan bantuan medis yang dirancang untuk
membuka chanel-chanel yang langsung berpartisipasi dalam pertempuran
tersebut. (INDONESIANS AND THE SYRIAN CONFLICT. 30 January 2014, IPAC
Report No. 6)
Indonesia mulai memberangkatkan orang ke Suriah untuk berjihad pada
pertengahan 2013, kata seorang analis yang merupakan pendiri ICG itu,
dan jumlahnya meningkat sejak Daulah Islam itu mendeklarasikan menjadi
khilafah pada bulan Juli 2014. “Ada 127 kasus yang terkonfirmasi dari
Warga Negara Indonesia yang sedang melakukan pertempuran di wilayah itu,
tapi angkanya bisa mencapai 200,” kata Jones. “Tapi ada daftar tunggu
yang panjang dari orang-orang yang ingin pergi ke sana”. Para pejuang
yang ingin bergabung dengan Isis atau al Qaeda, Jabhat al-Nusra harus
mendapatkan ijin dari panitia seleksi yang berada di Indonesia.
(www.theguardian.com “Indonesian jihadis could be strengthened by return
of Isis fighters, analyst warns,” Rabu, 11 March 2015).
Agar bisa berangkat ke Suriah, upaya apapun mereka lakukan. Sydney
Jones juga memaparkan, langkah WNI yang berniat bergabung dengan ISIS
tak semudah yang dikira. Terdapat proses seleksi terhadap simpatisan.
“Ada tiga akses di Indonesia untuk pergi ke Syria. Pertama, lewat
pengikut Aman Abdurraham yang sekarang ada di ISIS. Kedua, lewat
jaringan Jamaah Islamiyah (JI) untuk ke Jabhat al-Nusra. Yang lainnya
ada di tangan orang-orang salafi. Seseorang harus mendapatkan
rekomendasi dari tiga komunitas ini jika ingin bergabung di Syria.
Bahkan, kabarnya ada daftar tunggu bagi mereka yang ingin berangkat,”
bebernya. (Jawa Pos, siapakah Isis di Indonesia?).
Hilangnya 16 Warga Negara Indonesia (WNI) di Turki memunculkan
spekulasi bahwa mereka sengaja memisahkan diri dari rombongan untuk
bergabung bersama militan ISIS di Suriah. Belasan WNI itu sedianya
termasuk dalam rombongan 25 wisatawan Indonesia yang mengikuti paket
perjalanan wisata ke Turki melalui biro perjalanan Smailing Tour.
Jika dugaan itu dapat dibuktikan, maka ini merupakan modus baru yang
digunakan WNI untuk menyeberang ke Suriah bergabung dengan militan ISIS.
Pemerintah Indonesia sejauh ini, belum bisa memastikan dugaan tersebut.
Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian
Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, mengungkapnya banyak cara WNI untuk
pergi ke Suriah, termasuk melalui jalur destinasi wisata Turki. Baik itu
secara perorangan maupun melalui agen wisata. (www.viva.co.id, Ikut
Perjalanan Wisata, Modus Baru WNI Masuk Suriah? Selasa, 10 Maret 2015 )
Sementara itu, Kepala BIN Marciano Norman menerangkan, modus terbaru
untuk bisa bergabung dengan ISIS memang menggunakan biro perjalanan.
Untuk itu, BIN sedang menyelidiki kemungkinan terlibatnya biro
perjalanan tersebut. “Masih pendalaman,” katanya.
Kekhawatiran yang begitu besar bagi pemerintah Indonesia dengan
semakin banyaknya warga yang berbondong-bondong berangkat ke Suriah,
maka perlu tindakan untuk mencegah mereka. Irfan Idris mengatakan bahwa
ada empat upaya pendekatan yang dilakukan BNPT, yakni kontra ideologi,
kontra radikal, kontra propaganda, dan kontra narasi. “Kami memperkaya
strategi supaya tidak banyak yang ke Suriah,” tuturnya. Sayangnya, dia
enggan menyebutkan jumlah aparat yang dikerahkan dan menyebar ke daerah
mana saja.
Banyaknya para pelaku teroris memanfaatkan dunia maya sebagai jalur
propaganda membuat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
merintis program antisipasi. Program yang diberi nama ‘Tahun Damai di
Dunia Maya’ tersebut dilakukan guna menahan gempuran propaganda teroris
melalui internet.
Melalui Mayjen TNI H. Agus Surya Bakti, BNPT memberitahukan bahwa
saat ini sudah mempunyai website sendiri untuk mencegah aksi terorisme
di internet yakni damailahindonesiaku.com dan www.jalandamai.org.
Selain dengan program yang telah disampaikan diatas, menurut
pengamat, mungkin Badan Intelijen Negara (BIN) maupun BNPT sudah bisa
mendeteksi mereka yang akan bergabung dengan ISIS di Syria.
Persoalannya, tidak ada payung hukum untuk menangkap mereka. ”Berbeda
dengan di Malaysia. Mereka bisa menangkap warganya yang hendak berangkat
dengan tuduhan makar,” terang seorang pengamat.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Tedjo
Edhy Purdijatno mengatakan, saat ini warga negara Indonesia (WNI) yang
diketahui bergabung dengan Islamic States of Iraq and Syria (ISIS)
memang tidak otomatis hilang kewarganegaraannya. Namun, aturan tersebut
bisa dibuat dan jika dibutuhkan segera maka memungkinkan melalui
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). “Nanti kalau
aturannya sudah dibuat, kita ikuti aturannya, tetapi yang cepat adalah
dalam bentuk perppu,” kata Tedjo di kompleks Kepresidenan, Jakarta,
Kamis (19/3).
Analisis
Suriah merupakan salah satu Negara yang terletak di Timur Tengah yang
dipimpin oleh Presiden Bashar al-Assad dan pada saat ini sedang
mengalami konflik bersenjata internal. Pada tanggal 26 Januari 2011
terjadi demonstrasi publik Suriah, dan berkembang menjadi pemberontakan
nasional. Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Presiden Bashar
al-Assad, penggulingan pemerintahannya, dan mengakhiri hampir lima
dekade pemerintahan Partai Ba’ath. Pemerintah Suriah mengerahkan Tentara
Nasional Suriah untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa
bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan
yang bersifat noninternasional. Pada perkembangannya, pengertian
sengketa bersenjata internasional diperluas dalam Protokol I tahun 1977
yang juga memasukkan perlawanan terhadap dominasi kolonial. Perjuangan
melawan pendudukan asing dan perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai
bentuk-bentuk lain dari sengketa bersenjata internasional.
Hukum humaniter juga mengatur sengketa bersenjata yang bersifat non
internasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi didalam suatu
wilayah negara. Dalam situasi-situasi tertentu, sengketa bersenjata yang
tadinya bersifat internal (noninternasional) bisa berubah sifat menjadi
sengketa bersenjata yang bersifat internasional. Hal yang terakhir ini
disebut dengan internasionalisasi konflik internal (internationalized
internal conflict). Namun demikian, tidak semua sengketa bersenjata
internal bisa menjadi bersifat internasional apabila ada campur tangan
dari negara lain. Dalam hal ini perlu dilihat dahulu sejauh mana
keterlibatan atau turut campurnya negara lain tersebut.
Hukum humaniter berlaku dalam setiap bentuk sengketa bersenjata, baik
itu perang konvensional, perang non-konvensioanl dan perang modern.
Bahkan pada situasi tertentu, hukum humaniter juga dapat diberlakukan
dalam kerangka perang yang oleh sebagian negara disebut sebagai perang
melawan terorisme.
Kemudian muncul sebuah pertanyaan, benarkah konflik yang terjadi di
Suriah murni konflik sectarian? Ini butuh analisa mengapa masyarakat
Suriah memberontak kepada Bashar al Assad, siapakah dia sebenarya.
Bashar al Assad adalah putra dari Hafiz al Assad. Assad mahir dalam
bahasa Inggris dan bahasa Perancis, dia menjalani studi di sekolah elit
Franco-Arab al-Hurriyet di Damaskus (ibu kota Suriah) juga belajar ilmu
kedokteran di Universitas Damaskus untuk Fakultas Kedokteran. Lulus
menjadi seorang dokter spesialisasi dalam oftalmologi (mata) di
pendidikan rumah sakit London. Ia menikah dengan Asma’ al-Akhras,
seorang Suriah Syiah yang tinggal di Inggris sejak kelahirannya maupun
masa dewasanya. Assad dalam pemerintahannya didukung oleh pemerintah
Cina dan Rusia, ia menganut idealisme sosialis komunis. Dalam
pemahamannya, Assad mengikuti sekte Syiah Ghulat.
Factor itulah yang menyebabkan banyak orang-orang Islam
berbondong-bondong pergi ke Suriah dalam rangka membantu saudaranya yang
telah dianiaya oleh pemerintah Suriah yang notabene adalah kaum Syiah.
Selain factor ingin membantu saudaranya yang dianiaya, masih banyak
faktor yang mengakibatkan mereka berangkat ke Suriah sebagaimana
disampaikan oleh seorang analis Sidney Jones dalam kajiannya di IPAC.
Dengan berdirinya Daulah Islam ini, hal itu malah memancing banyak
arus relawan yang datang ke Suriah. Dalam sebuah kajian Rand Corporation
dinyatakan bahwa meskipun Amerika Serikat melakukan kampanye pemboman
dalam rangka untuk mengurangi arus relawan datang ke sana, tapi justru
malah sebaliknya. Pada pertengahan 2014 perkiraan jumlah total pejuang
asing di Suriah dan Irak di suatu tempat antara 12.000 dan 15.000.
Pemboman AS mulai di Irak pada bulan Agustus dan bulan berikutnya
diperluas menjadi kampanye pengeboman internasional, serta diperluas ke
Suriah pada bulan September. Namun, pada musim gugur tahun 2014,
estimasi jumlah pejuang asing di Suriah dan Irak telah berkembang
menjadi 16.000, dan pada akhir Februari 2015, Direktur Intelijen
Nasional AS, James Clapper, bersaksi bahwa ISIS sendiri memiliki 20.000
pejuang asing dalam jajarannya. Ini merupakan peningkatan antara 33 dan
66 persen meskipun terjadi kampanye pengeboman. Penghitungan 20.000 ini
selaras dengan laporan PBB tentang pejuang asing, juga termasuk mereka
yang berada di Afghanistan, Somalia, dan Yaman, untuk jumlah keseluruhan
25.000. Menurut laporan, ini adalah peningkatan 71 persen sejak
pertengahan 2014.
Perkiraan intelijen AS menyebutkan jumlah total orang yang direkrut
berasal dari Eropa dan negara barat lainnya berkisar 3.400. Perdana
Menteri Perancis memperingatkan bahwa sebanyak 10.000 relawan Eropa bisa
berada di Suriah dan Irak pada akhir 2015. Jumlah orang Amerika pergi
atau mencoba untuk pergi ke Suriah dan Irak jauh lebih kecil, meskipun
sudah melebihi jumlah total yang melakukan perjalanan ke semua front
jihad lainnya. Sementara itu, bulan Agustus 2014, jumlah mereka di suatu
tempat antara 70 dan 100. Sedangkan pada September, perkiraan ini
meningkat menjadi 130. Kesaksian Clapper pada bulan Februari 2014
membuat perkiraan pada 180.
Jadi, apa yang mendorong kenaikan itu? Termasuk mereka yang datang
dari Indonesia, pada intinya iming-iming Suriah dan Irak untuk relawan
dari berbagai belahan dunia. Pejuang asing berasal dari negara-negara
Arab. Mereka cukup dekat merasa menjadi bagian dari konflik. Mereka
pergi ke Suriah sebagai soal komitmen pribadi dan untuk alasan yang
bermanfaat. Pertempuran di Suriah akan memberikan mereka dengan
keterampilan yang diperlukan untuk mempercepat tujuan mereka di
negaranya. Hal ini berlaku juga untuk orang-orang Chechen yang tinggal
di Rusia atau sebagai pengungsi di Eropa, lainnya berasal dari
negara-negara Afrika Utara seperti Libya dan Tunisia, Uzbek, Kazakh, dan
Kygyz pejuang dari Asia Tengah, dan separatis Muslim dari Cina.
Eksodus relawan yang melakukan perjalanan ke Suriah dari Eropa
merefleksikan pengalaman kolektif masyarakat serta biografi individu.
Diaspora Muslim belum semuanya mudah berasimilasi di Eropa, karena
keduanya baik resistensi imigran dan diskriminasi lokal, meskipun
kebijakan pemerintah mendorong multikulturalisme. Perasaan kekacauan
arah dan pengasingan terutama akut di kalangan generasi kedua imigran.
Bagi mereka, Negara Islam menawarkan utopia, bebas dari prasangka dan
permusuhan yang mereka rasakan.
Orang Amerika yang pergi Suriah dan Irak juga mengeluh tentang
prasangka dan permusuhan yang mereka hadapi di Amerika, tetapi campuran
motif mencakup lebih banyak pribadi daripada masalah masyarakat. Orang
Amerika bermigrasi ke Negara Islam melihatnya sebagai langkah permanen,
mereka tidak punya niat untuk kembali.
Jelas, rasa komitmen keagamaan memberikan dorongan yang kuat bagi
mereka yang pergi ke Suriah, terlepas dari asalnya. Dan tidak diragukan
lagi, faktor pribadi memainkan peran penting dalam semua keputusan.
Meskipun demikian, tampaknya ada perbedaan antara mereka yang akan
mendapatkan pengalaman tempur untuk jihad di masa depan, mereka yang
berasal dari masyarakat yang terisolasi, dan orang-orang terutama
didorong oleh keadaan pribadi, dan perbedaan-perbedaan ini muncul sesuai
dengan asal-usul geografis.
Penulis : Andy Asmara