Senin, 15 Juni 2015

Benarkah Tanda Krisis Moneter 1998 Terulang?

Sketsanews.com – “Awas Tanda Krisis Moneter 1998 Terulang Kembali Kian Nyata.” Demikian berita di harian bisnis terkemuka beberapa waktu lalu. Kata seorang pakar ekonomi dan pasar uang, dalam berita itu, tanda-tanda ekonomi Indonesia memasuki masa gelap krisis ekonomi seperti terjadi pada 1998 semakin nyata.
Pemicunya karena pemerintah tidak konsisten terhadap sejumlah kebijakan yang telah dibuatnya. Akibatnya, terjadi inflasi dan melambannya pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2015.

Asumsi pandangan pakar ekonomi dan pasar uang Farial Anwar itu didasari oleh maraknya kredit dana bank asing yang masuk ke Indonesia mulai tahun 2015 ini. Situasi seperti ini menjadikan Indonesia terombang-ambing saat nilai dolar AS naik-turun.
Kekuatan besar pemodal asing sudah mencengkeram kedaulatan ekonomi Indonesia. Akibatnya, ekonomi Tanah Air bisa jatuh seperti pada 1998. Banyak perbankan yang terpuruk.
Benarkah sudah muncul tanda krisis moneter 1998 akan terulang seperti disampaikan oleh artikel itu?
Menurut saya, ada tiga perbedaan besar kondisi saat ini dibandingkan dengan krisis moneter 1998. Pertama, krisis 1998 lahir dari ekonomi Orde Baru yang ditopang utang luar negeri.
Namun, ibarat ketel air panas, Orde Baru kelewat ketat mengatur exchange rate. Akibatnya, setelah berjalan 32 tahun, exchange rate rupiah mendapat tekanan koreksi demikian besar dan ambruk.
Selain itu, krisis moneter 1998 dipacu oleh tekanan politik. Rezim Orde Baru dinilai tidak demokratis, sehingga menumbuhkan perlawanan dari berbagai penjuru, terutama mahasiswa.
Kedua hal tersebut terus menekan ketel uap hingga meletup, mirip magma perut Bumi yang mencari jalan keluar dari gunung dan mengakibatkan erupsi. Hasilnya kerusuhan 14 Mei 1998  pecah. Tekanan terhadap rupiah berpadu dengan tekanan politik memicu lompatan dolar menjadi melambung hingga 5 kali lipat lebih.
Rupiah nyungsep, inflasi melonjak, bank-bank sekarat lantaran negative spread. Jalan pintas yang lantas dibuat untuk menyelamatkan ekonomi adalah talangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, BLBI.
Kedua, reformasi selama 16 tahun mewarisi luka lama, bernama BLBI yang seharusnya digunakan untuk melunasi utang luar negeri, sebagian dibawa lari para banker dan pengusahanya. Sebagian lagi dibuat renegosiasi, sebagian untuk penjadwalan ulang dan sebagian dijual atau sebagian diserahkan sebagai opsi saham negara.
Itu sebab pemerintah kala itu harus bersusah payah mengundang masuk capital flight, yang dituding sebagai salah satu penyemarak ekonomi kapitalis dan datangnya musim penjualan aset negara di Indonesia. Selama 16 tahun reformasi, ekonomi kapitalis tidak berjalan lancar karena blacklist bank luar negeri, akibat dosa masa lalu.
Hasilnya, pada periode 5 tahun terakhir ekonomi cenderung forsocialist dan koruptif. Pemerintah memilih menggelontorkan subsidi BBM dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk meredam situasi.
Pemerintah tidak mau ambil risiko dengan menghentikan kebijakan populis dan mendidik publik dengan mengurangi subsidi yang sebagian besar salah sasaran. APBN digelontorkan ke daerah dalam kondisi daerah tidak siap mengelola.
Otonomi daerah yang bertujuan mulia, diselewengkan menjadi aksi bagi-bagi kekuasaan dan bancakan APBD. KPK menangkap ratusan kepala daerah karena masalah korupsi.
Ekonomi ala sosialis koruptif ini mengakibatkan bubble atau gelembung konsumtif. Ini terlihat dari banyaknya jumlah hypermarket di Indonesia hingga salah satu brand menyentuh Top 10 dunia. Dalam sebuah penelitian average purchase melampaui  Rp1 juta per orang pada tiap kali antre belanja.
Ketiga, pemerintahan Jokowi mendapatkan tawaran bantuan pinjaman bank luar negeri, baik dari negara-negara Barat maupun kawasan Asia. Berhubung kekuatan ekonomi riil secara defacto bergeser ke Timur, maka pemerintah memilih bantuan dana pinjaman lunak dari ASEAN Economic Community (AEC) yang dimotori oleh China.
Ekonomi “Jokoway” beraliran kapitalis yang baru dibangun kembali. Setiap hari ada groundbreaking atau pemancangan fondasi. Gedung Menara Indonesia satu dibangun 330 meter melebihi ketinggian Monas, nantinya bakal menembus awan di Jalan Thamrin, mengejar ketinggian menara kembar Petronas.
Ada satu grup  tengah membangun kota di awan berbentuk kompleks apartemen senilai Rp200 triliun bernama Milenium Village. Grup lain membangun kota seluas 330 hektare di Jakarta Utara, dengan menyematkan  nama Jakarta Garden City dari Kelapa Gading menembus ke Pantai Utara.
Ada juga grup  yang membangun kota mulai dari Jalan Guntur sampai Casablanca. Di kawasan itu dibangun kota baru di atas awan dengan ratusan menara apartemen.
Pantai Ancol sampai Dadap juga akan disulap setelah lebih dahulu direklamasi. Pantai baru akan muncul, pulau-pulau baru dengan semua rumah dan apartemen  menghadap laut, yang akan membentuk kawasan pantai berliku-liku, semirip daun pohon palem.
Namun, semua itu sebatas groundbreaking, sedangkan masyarakat yang tadinya menjalani ekonomi ala BLT atau bantuan langsung tunai akan kesulitan, karena voucher Kartu BBM dan Voucher Kartu APBD dicabut. Subsidi BBM selama ini melampaui angka Rp200 triliun.
Jika dihapus semua, masyarakat yang selama ini dimanjakan dengan BBM murah, akan menjadi pasien yang disedot darahnya sebanyak 200 cc berkali-kali. Ekonomi langsung terhuyung-huyung karena lesu darah.
Jadi, benarkah tanda krisis moneter 1998 terulang kembali? Jawabnya TIDAK.
Lalu, bagaimana pengusaha menyikapi ini? Mau tidak mau ekonomi bergerak dengan topangan investasi, yang dimodali oleh lembaga bank internasional. Ini memang menjadi pilihan yang terbaik, tapi bukan berarti lembaga donor menyuntik 100.000 orang investor, lalu melupakan penduduk dan golongan pekerja.
Ibarat di akuarium, oksigen hanya tersedia di permukaan. Karena itu, secara makro, dana asing dari lembaga donor, mau tidak mau harus menembus ke level pekerja secara sistematik.
Paling tidak, jika selama ini hanya 10 persen penduduk yang mengakses ke bank, harus digenjot  menjadi 30-40 persen. Mereka harus bisa mengakses bantuan pinjaman lunak.
Mekanisme agunan dan kolateral harus disiapkan secara fundamental. Tidak boleh lagi ekonomi dijalankan ala koboi Amerika Serikat. Ekonomi harus diperkuat oleh jumlah pemain yang lebih banyak.

Sumber : www.viva.co.id