Sketsanews.com – “Awas Tanda Krisis Moneter 1998 Terulang Kembali
Kian Nyata.” Demikian berita di harian bisnis terkemuka beberapa waktu
lalu. Kata seorang pakar ekonomi dan pasar uang, dalam berita itu,
tanda-tanda ekonomi Indonesia memasuki masa gelap krisis ekonomi seperti
terjadi pada 1998 semakin nyata.
Pemicunya karena pemerintah tidak konsisten terhadap sejumlah
kebijakan yang telah dibuatnya. Akibatnya, terjadi inflasi dan
melambannya pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2015.
Asumsi pandangan pakar ekonomi dan pasar uang Farial Anwar itu
didasari oleh maraknya kredit dana bank asing yang masuk ke Indonesia
mulai tahun 2015 ini. Situasi seperti ini menjadikan Indonesia
terombang-ambing saat nilai dolar AS naik-turun.
Kekuatan besar pemodal asing sudah mencengkeram kedaulatan ekonomi
Indonesia. Akibatnya, ekonomi Tanah Air bisa jatuh seperti pada 1998.
Banyak perbankan yang terpuruk.
Benarkah sudah muncul tanda krisis moneter 1998 akan terulang seperti disampaikan oleh artikel itu?
Menurut saya, ada tiga perbedaan besar kondisi saat ini dibandingkan
dengan krisis moneter 1998. Pertama, krisis 1998 lahir dari ekonomi Orde
Baru yang ditopang utang luar negeri.
Namun, ibarat ketel air panas, Orde Baru kelewat ketat mengatur exchange
rate. Akibatnya, setelah berjalan 32 tahun, exchange rate rupiah
mendapat tekanan koreksi demikian besar dan ambruk.
Selain itu, krisis moneter 1998 dipacu oleh tekanan politik. Rezim Orde
Baru dinilai tidak demokratis, sehingga menumbuhkan perlawanan dari
berbagai penjuru, terutama mahasiswa.
Kedua hal tersebut terus menekan ketel uap hingga meletup, mirip
magma perut Bumi yang mencari jalan keluar dari gunung dan mengakibatkan
erupsi. Hasilnya kerusuhan 14 Mei 1998 pecah. Tekanan terhadap rupiah
berpadu dengan tekanan politik memicu lompatan dolar menjadi melambung
hingga 5 kali lipat lebih.
Rupiah nyungsep, inflasi melonjak, bank-bank sekarat lantaran negative
spread. Jalan pintas yang lantas dibuat untuk menyelamatkan ekonomi
adalah talangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, BLBI.
Kedua, reformasi selama 16 tahun mewarisi luka lama, bernama BLBI
yang seharusnya digunakan untuk melunasi utang luar negeri, sebagian
dibawa lari para banker dan pengusahanya. Sebagian lagi dibuat
renegosiasi, sebagian untuk penjadwalan ulang dan sebagian dijual atau
sebagian diserahkan sebagai opsi saham negara.
Itu sebab pemerintah kala itu harus bersusah payah mengundang masuk
capital flight, yang dituding sebagai salah satu penyemarak ekonomi
kapitalis dan datangnya musim penjualan aset negara di Indonesia. Selama
16 tahun reformasi, ekonomi kapitalis tidak berjalan lancar karena
blacklist bank luar negeri, akibat dosa masa lalu.
Hasilnya, pada periode 5 tahun terakhir ekonomi cenderung
forsocialist dan koruptif. Pemerintah memilih menggelontorkan subsidi
BBM dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk meredam situasi.
Pemerintah tidak mau ambil risiko dengan menghentikan kebijakan populis
dan mendidik publik dengan mengurangi subsidi yang sebagian besar salah
sasaran. APBN digelontorkan ke daerah dalam kondisi daerah tidak siap
mengelola.
Otonomi daerah yang bertujuan mulia, diselewengkan menjadi aksi
bagi-bagi kekuasaan dan bancakan APBD. KPK menangkap ratusan kepala
daerah karena masalah korupsi.
Ekonomi ala sosialis koruptif ini mengakibatkan bubble atau gelembung
konsumtif. Ini terlihat dari banyaknya jumlah hypermarket di Indonesia
hingga salah satu brand menyentuh Top 10 dunia. Dalam sebuah penelitian
average purchase melampaui Rp1 juta per orang pada tiap kali antre
belanja.
Ketiga, pemerintahan Jokowi mendapatkan tawaran bantuan pinjaman bank
luar negeri, baik dari negara-negara Barat maupun kawasan Asia.
Berhubung kekuatan ekonomi riil secara defacto bergeser ke Timur, maka
pemerintah memilih bantuan dana pinjaman lunak dari ASEAN Economic
Community (AEC) yang dimotori oleh China.
Ekonomi “Jokoway” beraliran kapitalis yang baru dibangun kembali.
Setiap hari ada groundbreaking atau pemancangan fondasi. Gedung Menara
Indonesia satu dibangun 330 meter melebihi ketinggian Monas, nantinya
bakal menembus awan di Jalan Thamrin, mengejar ketinggian menara kembar
Petronas.
Ada satu grup tengah membangun kota di awan berbentuk kompleks
apartemen senilai Rp200 triliun bernama Milenium Village. Grup lain
membangun kota seluas 330 hektare di Jakarta Utara, dengan menyematkan
nama Jakarta Garden City dari Kelapa Gading menembus ke Pantai Utara.
Ada juga grup yang membangun kota mulai dari Jalan Guntur sampai
Casablanca. Di kawasan itu dibangun kota baru di atas awan dengan
ratusan menara apartemen.
Pantai Ancol sampai Dadap juga akan disulap setelah lebih dahulu
direklamasi. Pantai baru akan muncul, pulau-pulau baru dengan semua
rumah dan apartemen menghadap laut, yang akan membentuk kawasan pantai
berliku-liku, semirip daun pohon palem.
Namun, semua itu sebatas groundbreaking, sedangkan masyarakat yang
tadinya menjalani ekonomi ala BLT atau bantuan langsung tunai akan
kesulitan, karena voucher Kartu BBM dan Voucher Kartu APBD dicabut.
Subsidi BBM selama ini melampaui angka Rp200 triliun.
Jika dihapus semua, masyarakat yang selama ini dimanjakan dengan BBM
murah, akan menjadi pasien yang disedot darahnya sebanyak 200 cc
berkali-kali. Ekonomi langsung terhuyung-huyung karena lesu darah.
Jadi, benarkah tanda krisis moneter 1998 terulang kembali? Jawabnya TIDAK.
Lalu, bagaimana pengusaha menyikapi ini? Mau tidak mau ekonomi
bergerak dengan topangan investasi, yang dimodali oleh lembaga bank
internasional. Ini memang menjadi pilihan yang terbaik, tapi bukan
berarti lembaga donor menyuntik 100.000 orang investor, lalu melupakan
penduduk dan golongan pekerja.
Ibarat di akuarium, oksigen hanya tersedia di permukaan. Karena itu,
secara makro, dana asing dari lembaga donor, mau tidak mau harus
menembus ke level pekerja secara sistematik.
Paling tidak, jika selama ini hanya 10 persen penduduk yang mengakses ke
bank, harus digenjot menjadi 30-40 persen. Mereka harus bisa mengakses
bantuan pinjaman lunak.
Mekanisme agunan dan kolateral harus disiapkan secara fundamental.
Tidak boleh lagi ekonomi dijalankan ala koboi Amerika Serikat. Ekonomi
harus diperkuat oleh jumlah pemain yang lebih banyak.
Sumber : www.viva.co.id