Sketsanews.com – Disiarkan di TV, Angeline, yang dilaporkan hilang 16
Mei, pada 10 Juni ditemukan terkubur dekat kandang ayam di belakang
rumah ibu angkatnya, dengan jejak-jejak penganiayaan di tubuhnya.
Wali kelas bercerita bahwa Angeline, 8 tahun, adalah anak yang sangat
murung dan pendiam. Ia kurus, sering datang terlambat, kadang pusing di
sekolah karena belum sarapan. Pernah hadir dengan wajah dan rambut yang
sangat kotor, sampai dimandikan oleh gurunya. Ketika ditanya ada apa,
ia tidak bersuara. Ia hanya diam menatap, dengan mulut seperti terkunci.
Pada saat yang sama, 9-10 Juni 2015, lembaga-lembaga yang menekuni
kajian jender di UI, bekerja sama dengan Universitas Leiden, mengadakan
lokakarya mengenai perkawinan anak. Di sekitar kita ada anak perempuan,
sebut saja Lena, yang pada pertengahan 2014 dikawinkan di usia ke-14,
pada September 2014 hamil, dan pada Januari 2015 dikembalikan begitu
saja ke rumah orangtuanya karena sang suami sudah tidak menghendaki
lagi.
Anak kita
Lies Marcoes menyebut bahwa anak-anak yang dikawinkan itu adalah
”yatim piatu sosial”, sebenarnya punya ayah-ibu, tetapi dilepas begitu
saja untuk menjalankan tugas-tugas yang jauh melampaui usianya. Disuruh
kawin, berhubungan seksual, hamil, melahirkan, mengurusi suami dan
anak—ketika mereka belum siap melakukannya—dengan konsekuensi hilangnya
keceriaan masa kanak dan seluruh masa depannya.
Ada pula, sebut saja, Sekar, yang kawin dan langsung hamil di usia 15
tahun, ditinggalkan suami bekerja di negara tetangga. Ketika diminta
mengirim uang, lelaki itu marah karena yang dipikirkan suami adalah
mengumpulkan uang untuk membeli motor. Tak berapa lama lelaki itu kawin
lagi. Di usia hampir 16 tahun, Sekar sudah harus bertanggung jawab
menafkahi anak dan dirinya sendiri, tanpa bekal apa pun karena apa yang
bisa dilakukan oleh perempuan 16 tahun yang digelendoti anak?
Pendidikannya saja langsung terhenti karena sekolah langsung menyuruhnya
keluar ketika ketahuan perutnya sudah berisi.
Memang Sekar kawin atas kehendak sendiri, tetapi tetap ia tanggung
jawab kita semua karena cakrawala berpikirnya dibatasi oleh cakrawala
berpikir masyarakatnya. Mengenai perempuan hamil tidak dapat lagi
sekolah, lembaga dan pejabat berwenang dapat berkata ”bukan kami yang
menetapkan, itu kebijakan sekolah”, tetapi kita dapat bertanya lebih
lanjut: apakah Kementerian Pendidikan mewajibkan sekolah untuk tetap
memberikan akses pendidikan sebaik-baiknya bagi perempuan usia anak,
bagaimanapun kondisinya? Sekar tanggung jawab kita karena bila negara
dan masyarakat sungguh peduli, ia tidak perlu harus menikah di usia 15
tahun, kehilangan pendidikan, sekaligus kehilangan masa depan.
Angeline juga dapat kita simpulkan sebagai yatim piatu sosial karena
meski masih ada ibu kandung, dan diangkat anak oleh keluarga yang
berkecukupan, ia sama sekali tidak memperoleh kasih sayang, rasa aman,
dan perlindungan. Siapa pun pelakunya, ia dipekerjakan. Wali kelas
bercerita bahwa ia pernah datang terlambat, dan ketika ditanya, ia
mengaku harus memberi makan ayam yang jumlahnya puluhan.
Tanggung jawab orang dewasa
Wali kelas bercerita dengan suara bergetar. Ceritanya memberikan
refleksi, betapa gamang kita menghadapi kasus-kasus seperti yang terjadi
pada Lena atau Angeline. Sejauh mana kita dapat melibatkan diri jika
anak masih punya orangtua atau keluarga? Bukankah sering keluarga akan
marah karena orang luar ikut campur? Bagaimana pula jika nanti kita
dianggap salah oleh hukum karena mengambil tindakan yang melampaui
wewenang kita?
Akibatnya, sering kita terlambat. Maka, Lena dikawinkan dan beberapa
bulan kemudian dalam keadaan hamil di usia 14 tahun ia dikembalikan
begitu saja karena sudah tidak dihasrati lagi. Maka, Angeline juga
ditemukan sudah meninggal, dengan kekerasan benda tumpul di kepala,
sundutan rokok, dan jerat plastik di lehernya.
Ada UU No 35/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang
Perlindungan Anak. Terlepas dari keterbatasan UU ini, setidaknya semua
orang yang akan menikah, sudah menikah atau akan mengangkat anak, para
guru, dan pihak-pihak yang berkecimpung dengan anak perlu diwajibkan
membacanya dengan teliti untuk meminimalkan ketidaktahuan,
ketidakpedulian, atau sikap-sikap defensif terkait pelanggaran hak anak.
Persoalannya bukan hanya kemiskinan. Di kalangan kaum berkecukupan
pun dapat terjadi. Orang dewasa masih banyak yang mendukung terjadinya
perkawinan anak, atau kekerasan terhadap anak, dengan berbagai
alasannya.
Anak perempuan sering rentan mengalami kekerasan dalam berbagai
bentuknya dan dilanggar hak-hak dasarnya, dengan konsekuensi yang lebih
rumit, seperti hamil, melahirkan, belum lagi stigma-stigma dan
diskriminasi sosial yang dilekatkan. Meski demikian, anak lelaki juga
rentan kekerasan, membawa luka batin, terpotong masa depannya, dan di
masa dewasa dapat menjadi agen yang mereproduksi praktik hidup yang
menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Pada akhirnya, kepentingan terbaik anak adalah kepentingan terbaik
bangsa. Anak yang difasilitasi agar dapat tumbuh dan berkembang maksimal
akan menjadi orang dewasa yang mampu berperan maksimal dan melahirkan
anak-anak yang lebih berkualitas. Angeline dan Lena dan banyak yang
lainnya adalah anak-anak kita, yang telah dirampas masa kini dan masa
depannya. Dalam tatap mata murung dan ketidakmampuan bersuara,
sebenarnya mereka menghadirkan tanya, sungguhkah kita peduli, dan apa
yang telah kita lakukan untuk mereka?
Sumber: www.kompas.com