Kamis, 06 Oktober 2016

Demi Kesehatan Rakyat Ataukah Pemasukan Negara ?

Sketsanews.com – Beredar isu, bahwa pemerintah bakal menaikkan atau lebih tepatnya mengganti harga rokok menjadi Rp 50 ribu. Petani pun meradang, panen tembakau mereka terancam merugi.

Begitu pun para perokok, mereka akan kesulitan menghisap tembakau karena harganya tak terbeli.
Wacana tersebut menjadi perdebatan hangat, banyak pro dan kontra. Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar meminta pemerintah untuk mengkaji secara seksama.

Alasannya, bila kenaikan rokok hanya bentuk upaya asing untuk menguasai pabrik kretek dalam negri, dirinya menolak.




Ilustrasi rokok. @Shutterstock/Nomad_Soul
Ilustrasi rokok. @Shutterstock/Nomad_Soul

Hal senada disampaikan oleh Budayawan Muhammad Sobari, “Tolong dipikirkan, bahwa ini adalah penguasaan pabrik rokok kretek oleh asing, kalau tujuannya hanya pengambil alihan pabrik rokok kretek oleh asing, ya tidak setuju” katanya, di Bandung, selasa (23/8).

Menteri Pemberayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yambesi menilai, kenaikan harga rokok bisa memicu meningkatknya angka kriminalitas di masyarakat.

“Demi dapat sebatang rokok, bukan tidak mungkin seseorang melakukan tindak kekerasan, seperti pencurian atau perampokan” ungkapYohana di Palembang, Kamis (25/8).

Direktur Jendral Bea Cukai, Heru Pambudi mengatakan, pemerintah masih mengkaji kenaikan tarif cukai rokok demi memenuhi target penerimaan cukai pada RAPBN 2017 sebesar 149 Trilyun Rupiah. Namun sampai saat ini, besarnya belum ditetapkan.

Heru mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen mengurangi konsumsi rokok di kalangan masyarakat, salah satunya dengan menaikkan cukai rokok. Akan tetapi, kenaikan selalu dilakukan secara bertahap.

“Kalau harga Rp 50.000,- berarti terjadi kenaikan sebesar 300%, sementara dalam sejarahnya, kenaikan harga itu sebesar puluhan saja” kata Heru kepada BBC Indonesia.

Ia menilai, peningkatan harga rokok secara drastis dapat mengurangi jumlah produksi, dan ujungnya berdampak pada kesejahteraan pekerja di pabrik, serta petani tembakau dan cengkeh yang menjadi pemasok industri rokok.

Efek samping lainnya, kata Heru, merebaknya rokok-rokok ilegal.
“Salah satu instrumen penetapan harga itu kan cukai, yang merupakan bentuk pajak. Secara teori, jika pajak terlalu tinggi, maka akan ada dampak berupa produk ilegal”, jelasnya.

Analisa

Wacana kenaikan rokok hingga Rp 50.000,- per bungkus berawal dari penelitian Studi Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Studi yang diterbitkan di Jurnal Ekonomi kesehatan Indonesia itu mengkaji dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok dan cukai untuk mendanai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)_yang biasa dikenal dengan BPJS.

Berdasar survey terhadap 1000 orang dari 22 propinsi dengan tingkat penghasilan di bawah 1 juta hingga di atas 20 juta, didapatkan hasil 82% responden setuju harga rokok dinaikkan untuk mendanai JKN.

Kemudian responden ditanya lagi, berapa harga maksimal rokok yang dapat dibeli. Didapat jawaban, sebanyak 72% responden menyatakan akan berhenti merokok jika harga rokok di atas Rp. 50.000,-.

“Dengan menaikkan harga 2x lipat, maka jumlah rokok yang beredar akan turun, tetapi jumlah uang yang beredar untuk rokok tetap naik. Maka pemerintah akan mendapatkan tambahan uang cukai sebesar Rp 70 trilyun, itu cukup untuk menutup defisit JKN” tutur Hasbulloh Thabrany, penulis utama laporan itu.

Hasbulloh juga mengatakan, hasil studi tersebut konsisten dengan studi di negara-negara lain.

“Penelitian sebelumnya di Malaysia,Singapura, Inggris dan Australia menunjukkan kalau orang dihadapkan dengan kenaikan harga rokok dua kali lipat, maka konsumsinya turun 30%. Dalam ilmu ekonomi ini disebut Elastisitas Demand”, jelas Hasbulloh.

Meski demikian, menurut wakil ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, menaikkan harga rokok secara drastis perlu dibarengi kebijakan pendukung lainnya, seperti :

1. Menyediakan terapi bagi masyarakat yang ingin berhenti merokok.
“Di satu sisi harga rokok dinaikkan, di sisi lain pemerintah juga menyediakan alternatif bagi masyarakat yang ingin berhenti merokok berupa therapy gratis di klinik kesehatan. Selama ini sudah ada tapi jumlahnya terbatas” kata Sudaryatmo.

2.Adanya kebijakan yang melarang menjual rokok secara ketengan/jual per batang.

3.Adanya kebijakan yang menetapkan batas minimal isi dalam satu bungkus adalah 20 batang.
Sudaryatmo mengakui, kebijakan menaikkan harga rokok tidak begitu berpengaruh kepada orang yang sudah terlanjur kecanduan. Namun, diharapkan langkah tersebut dapat menekan jumlah perokok pemula.

Survey badan kesehatan dunia/World Health Organization (WHO) tahun 2014 terhadap siswa sekolah usia 13-15 tahun di Indonesia, mengungkapkan bahwa 36,2% pelajar laki-laki dan 4,3% pelajar wanita telah mengkonsumsi tembakau.

Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan ditanda-tangani oleh Presiden Republik Indonesia pada Desember 2012. Peraturan Pemerintah ini merupakan turunan dari Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana dalam Bagian Ketujuh Belas (pasal 113 s/d 116) tercantum mengenai “Pengamanan Zat Adiktif”. Dengan lahirnya PP ini, maka PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Dokumen PP NO. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan tersebut dapat diunduh

di:http://depkes.go.id/index.php/component/depkesdownload/index.php?option=com_depkesdownload&itemid=24&folderid=62

PP ini sangat ketat mengatur hal-hal yang berkenaan dengan produksi, ditribusi dan penjualan rokok yang wajib mencantumkan peringatan, tak hanya tulisan, namun juga dalam bentuk gambar (Pasal 17).

Pasal 17 ayat 4a berbunyi:

“Dicantumkan pada bagian atas kemasan, sisi lebar bagian depan dan belakang masing-masing seluas 40% (Empat Puluh pesen), diawali dengan kata “Peringatan” dengan menggunakan huruf berwarna putih dengan dasar warna hitam, harus dicetak jelas dan mencolok, baik sebagian atau seluruhnya.
Dan sisi samping lain dari kemasan, juga dapat dicantumkan pernyataan “Tidak ada batas aman” dan “ mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”.

Beberapa hal yang dilarang pada produk tembakau adalah :

1.Adanya kata “Slim”, “Premium”, “Special”, “Full Flavour”, “Light”, Ultra Light”, “Mild”, “Extra Mild.

2.Adanya kata lain yang mengindikasikan Kualitas, Superioritas, Pencitraan rassa aman, Kepribadian, dan kata-kata lain yang semakna.

Pada Pasal 1 Ayat 4 disebutkan, Nikotin adalah zat atau bahan senyawa Pyrrolidine yang terdapat pada Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya yang bersifat adiktif, sehingga menyebabkan ketergantungan.

Petani tembakau dan perusahaan rokok yang telah lama menentang langkah tersebut, mengatakan RUU tersebut mengancam mata pencaharian ratusan ribu orang yang bekerja di industri tembakau.
Tentang cukai rokok diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, dengan jumlah penduduk yang mencapai 240 juta, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia dalam hal jumlah perokok.

Sekitar 65 persen laki-laki Indonesia dan 35 persen dari perempuan berusia 15 atau lebih tua merokok pada tahun 2010, seperti yang dilaporkan oleh kementerian Kesehatan.

Survey Lentera pada 2015 mencatat 45% remaja Indonesia sudah merokok pada usia 13 hingga 19 tahun. Sedangkan di tahun 2016 ini, anak-anak SD pun sudah banyak yang merokok.

Penyakit tidak menular termasuk yang disebabkan merokok membukukan 64 persen dari semua kematian di Indonesia, kata Organisasi Kesehatan Dunia. Naik lebih dari 50 persen pada tahun 1995.

Mengingat dampak buruk yang diakibatkan oleh perilaku merokok, alangkah baiknya wacana pemerintah menaikkan harga rokok segera terealisasi, sehingga para perokok akan berpikir ulang untuk membeli rokok, yang pada akhirnya jumlah perokok semakin dapat ditekan dan kesehatan masyarakat akan lebih terjamin. (dR)

Sumber : http://sketsanews.com/566989/demi-kesehatan-rakyat-ataukah-pemasukan-negara/amp/