Kamis, 02 Juli 2015

LANGIT MENDUNG di ATAS KOTA SURABAYA

Rabu, 01 Jul 2015 | 11:14 am·Views: 5

Ilustrasi-sketsanews

Sebagaimana semua orang sudah mafhum, bahwa kota Surabaya merupakan Ibu Kota Jawa Timur. Kota yang terletak di ujung timur pulau Jawa ini termasuk dalam deretan kota tersibuk kedua setelah Jakarta. Bagaimana tidak, aktifitas bongkar muat di pelabuhan lautnya -Tanjung Perak- selalu ramai padat, bahkan untuk sekarang ini boleh dibilang 'overload'. Sehingga ada wacana bahwa kedepannya pelabuhan akan dipindah ke lain daerah tetapi masih tetap area Jawa Timur.

Di sudut kota itu, ada seorang pemuda yang beranjak dewasa. Prihatin dengan kondisi ekonomi keluarganya, maka ia memutuskan untuk mencari pekerjaan ke kota. Berbekal ijazah sekolah menengah, satu demi satu perusahaan ia masuki namun belum ada satupun yang membutuhkannya. Nama pemuda tersebut adalah Edy Setiawan, teman-teman di kampung biasa memanggilnya dengan si panda, penyebabnya tak lain karena perawakan tubuhnya yang agak pendek dan sedikit gemuk.

Hari pertama, kedua, dan ketiga ia belum mendapatkan hasil. Saat bertanya di Instansi yang dimasuki, oleh petugas jaga selalu dijawab, "Maaf mas, tidak buka lowongan". Capek bercampur malu rasanya karena selalu ditolak, tapi semangatnya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik mengalahkan semua rasa tersebut. Ia buang jauh rasa malu, toh yang dilakukannya bukanlah mengemis.

Di hari yang ke empat, secara tidak sengaja ia bertemu dengan seorang pengusaha – sebut saja namanya pak Dodi -, usianya sekitar 45 tahun, berpenampilan menarik, humoris dan sopan kepada siapa saja, dan inilah yang membuat Edy terkesan. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk berakrab ria, bermula dari obrolan ringan, lama-lama membahas masalah kerjaan. Edy yang memang belum pernah merasakan jadi seorang wiraswastawan cuma mengangguk saja mendengarkan cerita Pak Dodi. Saat pak Dodi bertanya, "Sekarang ini mas Edy sedang sibuk bisnis apa ?". "Boro-boro bisnis pak, lha ini sedang nyari kerjaan belum dapat-dapat", kata Edy pelan. "Kebetulan sekali, saat ini saya sedang mencari seorang karyawan, yang suatu saat nanti mau saya ajak merintis usaha di kota lain, bahkan propinsi lain. Kira-kira mas Edy mau nggak ?". "Oke pak, saya mau", jawab Edy mantab.

Di awal tahun 2008, pak Dodi dan Edy Setiawan pun berangkat ke suatu kota kecil di lain propinsi untuk memulai usaha jasa foto kopi. Menurut pak Dody, kota tersebut walaupun kecil namun sangat berpotensi untuk dijadikan tempat usaha, karena disana masih jarang yang menjalankan bisnis jasa foto kopi. Perjalanan dimulai dari kota Jakarta, tempat pak Dodi tinggal. "Sopan sekali ya, karyawan di kota ini, sangat berbeda dengan karakter orang-orang di kota asalku," gumam Edy karena melihat perlakuan pegawai transportasi terhadap dirinya dan Pak Dodi. "Atau mungkinkah Pak Dodi ini sudah cukup terkenal sebagai wiraswastawan kaya yang sering muncul di televisi, Sehingga hampir semua orang tidak asing dengan wajahnya? Ahh, entahlah.."

Tengah hari, mereka berdua berhenti di sebuah restoran tuk mengisi perut yang mulai keroncongan sembari istirahat sejenak melepas kantuk. Disini juga Edy disapa oleh 'waitress' dengan sopan dan sok akrab, namun Edi tak mempedulikannya. Sesaat kemudian masuklah beberapa orang bertampang sangar, rambut disemir merah, dan badan dipenuhi tato. Naasnya yang didekati pertama adalah meja Edy. "Jangan-jangan mereka ini mau membuat ulah di restoran ini," pikir Edy. Segera ia meraih kursi disampingnya untuk membela diri, sedangkan pengunjung yang lain terdiam karena ketakutan. Melihat Edy seorang diri memegang kursi, seorang preman yang rambutnya dikuncir membentak, "Merasa jagoan ya, berani melawan kami. Kawan-kawan, bawa mereka berdua, sepertinya mereka berdua orang kaya. Kalo mereka kita tawan, pasti tebusannya gede". Tak berdaya, Edy dan Pak dodi pun dibawa pergi oleh para preman tersebut.

Beberapa hari kami disekap dalam sebuah bangunan tua, ukurannya agak besar namun sayang, pencahayaannya sangat minim sehingga pandangan saya pun agak terganggu. "Serahkan barang berharga kalian yang ada di tas itu !" kami dibentak lagi. "Tidak, kami tidak akan menyerahkan barang berharga kami".

Mereka pun dengan paksa merampas tas kami. Dibukanya tas ku yang isinya cuma pakaian ganti, dengan wajah kesal tasku dilemparkan ke lantai sambil mengumpat "dasar kere", aku cuma diam saja mendengarnya.

Kemudian para preman tersebut mengambil tas milik pak Dodi, dan mengeluarkan isinya satu persatu, semuanya diambil tak ada sisa karena memang barang-barang pak Dodi lumayan berharga. Itupun belum cukup, mereka masih mencaci maki semaunya, seolah-olah kami ini tidak ada harganya.

Selang beberapa minggu, kami dibawa pergi ke kota asal kami, dalam fikiran sudah membayangkan kalau kami berdua mau dibebaskan. Tapi kenyataan berkata lain, kami dioper ke kelompok preman lainnya untuk dijadikan sandera. Dibawah sanderaan para preman ini, saya dipaksa menunjukkan rumah tinggalku, rumah saudara-saudaraku. Kukatakan bahwa saya ini bukan orang yang berharta, percuma saja menyanderaku, saudara-saudaraku tak akan mampu untuk mencarikan uang tebusan. Namun, mereka tetap saja memaksaku. Akhirnya kubawa mereka ke rumah salah seorang saudaraku di daerah Jakarta (dalam hati aku berdo'a), semoga saudaraku tidak ada di rumah, karena seingatku dulu ia pernah berkata kalau mau merantau ke kota lain- sayangnya saudaraku ini masih di rumah, ia tidak jadi pergi merantau. Tentu saja saudaraku ini jadi korban pemerasan para preman tersebut, uang tabungan untuk biaya persalinan istrinya pun disikat juga, kasihan sekali.

Puas memeras saudaraku yang satu ini, para preman tersebut memaksaku untuk menunjukkan rumah saudaraku yang lain. Untunglah saudaraku pada pergi semua, dan itu menimbulkan kekecewaan bagi para preman tersebut.

Di hari yang lain, para preman tersebut masih saja menanyaiku macam-macam, mereka masih belum percaya kalau diriku ini orang yang tak punya harta, dikiranya orang yang bepergian dengan seorang yang kaya, itu juga termasuk orang kaya, mereka salah besar.

Setelah puas menyanderaku, akhirnya aku dilepaskan juga. Entah apa alasannya -apa karena sudah bosan melihatku setiap hari, atau karena tidak ada harapan bakal dapat uang tebusan- ah masa bodo, yang penting aku sudah di lepaskan. Segera saja aku pulang ke kampung halamanku, ingin rasanya segera bertemu dengan bapak dan ibu, yang telah sekian lama di rumah menungguku.